Patologi dalam terminologi medis disebut dengan penyakit.Pengertian tersebut mungkin ada ketidak sinkronan dalam pemaduan dua kata tersebut,Namun itu hanya sekedar terminologi untuk menggambarkan bahwa dalam birokrasi di indonesia ada semacam penyakit kronis yang belum dapat di sembuhkan.Sebut saja, dari perundan-undangan,aturan hukum dan kebijakan pemerintah masih sering bertolak belakang.Ironisnya manakala penyakit tersebut tidak bisa di PERIKSA ke ahlinya,maka akan menggejala dalam sebuah sistem yang amburadul.Artinya ketika penyakit birokrasi tersebut tidak ada di tubuh pemerintah ,maka percayalah akan terbangun sebuah paradigma baru dalam birokrasi yang di implementasikan seluruh sistem yang punya sinerjitas dengan birokrasi.Bias birokrasi sehat dan bersih,dapat tertata dalam komunitas kewirausahaan,yang terdiri dalam industri kreatif yang ada di masyarakat.
Komunitas kewirausahaan dan birokrasi tidak bisa di lepaskan dalam mata rantai sjarah bangsa indonesia,sudah menjadi ekosistem perekonomian bangsa antara keberadaan komunitas kewirausahaan dan birokrasi.Sayangnya,sampai saat ini masih ada birokrasi yang memandang sebelah mata,bahkan hampir tidak mendapat perhatian dari pemerintah.Padahal,tuntutan reformasi setidaknya sudah merubah wajah birokrasi indonesia walaupun belum signifikan.Agenda reformasi dalam tubuh birokrasi di indonesia di tujukan bukan lagi sekedar untuk membangun institusi birokrasi yang profesional secara manajerial,namun bagaimana birokrasi tersebut mampu mepresentasikan konfigurasi sosial ekonomi kerakyatan yang ada untuk menjamin keterwakilan masing-masing komunitas kewirausahaan.
Menurut sejumlah pengamat ekonomi bahwa patologi birokrasi bersumber dari rekruitmen dan penempatan birokrat yang tidak berdasarkan merit sistem (berdasarkan jenjang karir).Selain itu keterlibatan birokrasi dalam politik dianggap sebagai hal yang harus di waspadai,kareena birokrasi bukanlah institusi datau lembaga yang bisa mewakilkan kepentingan kelompok atau golongan tertentu.
Secara makro atau nasional persoalan birokrasi di Indonesia lebih di dominasi,karena kurangnya pemisahaan atau segresi yang jelas antara kepentingan antara politik dan administrasi.Masih sering di jumpai birokrat terlibat dalam kegiatan politik,bisnis dan juga hukum ada poitisi yang mendominasi proses-proses birokrasi.Sehingga kebijakan yang di ambil dalam birokrasi merupakan kebijakan politik dari orang-orang yang memiliki kepentingan tertentu.Persoalan tersebut seperti mengurai benang kusut,karena ke depan bila model birokasi yang seperti initerus dijalankan akan memunculkan konflik,terutama menimbulkan praktik kolusi,korupsi,dan nepotisme dalam reqruitmen,penempatan,promosi dan mutasi birokrasi masih sering terjadi.Praktik-praktik seperti ini sudah menjadi rahasia umumyang pada akhirnya praktik-praktik korupsi dan pengamanan sumber-sumber ekonomi termasuk keuangan Negara dari kelompok yang sedang berkuasa dengan menjalin korporasi yang menjadi sebuah sistem yang penuh dengan korupsi,kolusi dan nepotisme.
Ini sebuah realitas,bahwa patologi birokrasi di Indonesia sudah sangat parah.Sebab sudah berhubungan dengan kultur budaya indonesia,yaitu patron klien, Istilah “patron” berasal dari ungkapan bahasa Spanyol yang secara etimologis berarti “seseorang yang memiliki kekuasaan (power), status, wewenang dan pengaruh” (Usman, 2004: 132). Sedangkan “klien” berarti “bawahan” atau orang yang diperintah dan yang disuruh.
Selanjutnya, pola hubungan patron-klien merupakan aliansi dari dua kelompok komunitas atau individu yang tidak sederajat, baik dari segi status, kekuasaan, maupun penghasilan, sehingga menempatkan klien dalam kedudukan yang lebih rendah (inferior), dan patron dalam kedudukan yang lebih tinggi (superior). Model tersebut, dianggap menyuburkan korupsi, kolusi dan nepotisme di Indonesia. Tuntutan merit sistem dalam rekruitmen birokrasi terutama di daerah ternyata sulit dipenuhi karena persoalan primordialisme.
Untuk mengatasi tantangan globalisasi diperlukan perubahan cara kerja baru yang lebih efektif dan efisien, lebih demokratis dan terbuka, lebih rasional dan fleksibel dan lebih terdesentralisasi. Dalam perubahan menejemen tersebut dapat dikelola dengan baik, maka akan dipetik keuntungan yang berupa tumbuhnya banyak prakarsa, aneka ragam kreatifitas dan dorongan partisipasi yang makin besar. Pertumbuhan semacam itu akan mendorong terwujudnya kemandirian yang menjadi ciri utama pembangunan dalam rangka menghadapai kehidupan masa depan.
Untuk itu manajemen harus berorientasi pada tujuan agar lebih efektif dan efisien dengan cara seperti, membangun komunitas kewirausahaan berbasis industri kreatif dengan dukungan Teknologi Infomasi dan Komunikas (TIK), seperti yang dilakukan VISASIA Intrepreneur Community (Visec) telah merumuskan tujuan dan sasran organisasi secara jelas dan rinci untuk sebuah tujuan dan sasaran peningkatan taraf ekonomi dan kesejahteraan rakyat secara luas.
Perubahan tersebut akan dapat terlaksana bilamana didahului oleh perubahan sikap dan perilaku SDM yang akan menjadi pendukung utama perubahan tersebut. Untuk itu diperlukan langkah kegiatan yang berupa mencari nilai–nilai baru, kemudian dimasyarakatkan atau ditraining dan disempurnakan terus menerus, sehingga menjadi kebiasaan kerja dan budaya kerja dan kerja yang orientasinya pencerdasan dan pencerahan bangsa.
Dengan mengedepankan produktivitas budaya kerja adalah sikap mental yang selalu mencari perbaikan atau menyempurnakan apa yang telah dicapai dengan menerapkan formula baru serta yakin akan kemaslahatan umat manusia. Dalam hal ini dapat dilihat kaitan antara kepribadian itu terkandung unsur komunitasnya, keterampilan, minat, karateristik dan nilai–nilai kepribadian yang positif. Sikap itu kemudian menjadi perilaku yang memiliki semangat, optimis, kreatif, disiplin, rajin, jujur, tanggungjawab, dan progresif sehingga hasil kerja akan mencapai kualitas yang profesional.
Komunitas Visasia yang tersebar di seluruh nusantara sebagian besar memiliki Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dan dinilai dari unsur sebuah survei, tentang kepemimpinan, perencanaan, pengorganisasian, penentuan prioritas, pendelegasian, pengendalian, pemecahan masalah, pengambilan keputusan, komunikasi lisan, komunikasi tertulis, keterampilan administrasi, hubungan antar pribadi, pemeliharaan keselamatan, kerumahtanggaan, ketepatan waktu dan kehadiran, menjadi cermin sebuah filosofi “Berbagi dan Berbagi” kepada sesama.
Kesimpulannya, bahwa komunitas kewirausahaan dan hubungannya dengan birokrasi, suatu sistem dan mekanisme yang berbeda tetapi memiliki kaitan yang sangat signifikan. Artinya, komunitas kewirausahaan adalah sebuah sistem yang terbangun berdasarkan kultur dan kebutuhan ekonomi masyarakat dan harus terus dipelihara, sehingga kesuksesan ditentukan oleh kemampuan seseorang untuk ‘berubah’ dengan naik ke tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi.
Sementara birokrasi adalah sistem dan mekanisme pemerintahan dan uraian jabatan dimana menentukan apa yang menjadi ekspektasi dari sebuah kebijakan dan bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat. Sehingga patologi birokrasi menjadi ‘haram’ hukumnya ketika menjadi ‘benalu’ pada pohon komunitas kewirausahaan.
Peran keduanya sangat penting dan harus saling membutuhkan dan kerjasama, birokrasi sebagai pembuat aturan dan kebijakan harus mampu mengayomi dan melindungi serta mengawasi komintas wirausaha, sedangkan para wirausaha harus mampu menghormati rambu-rambu birokrasi sebagai salah satu dari mata rantai tata aturan perekonomian bangsa, sehingga keduanya ikut mendorong peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan menghasilkan atau memanfaatkan hasil pajak serta penghasil devisa bagi negara demi kemakmuran bangsa dan negara. Kata kuncinya Patologi (penyakit) birokrasi, budaya, hierarkhis, dan pelayanan publik yang tidak prima harus dibongkar secara keseluruhan dengan meminjam istilah Bapak Joko Widodo, yakni perlu adanya “Revolusi Mental”
0 comments:
Post a Comment