Mitos penamaan Bulukumpa pertama kali
muncul pada abad ke – 16 Masehi ketika terjadi perang saudara antara dua
kerajaan besar di Sulawesi yaitu kerajaan Gowa dan kerajaan Bone. Dan
di batas Bukit yang bernama Karampuang. Raja Bone masih mengklaim bahwa
bukit Karampuang (Wilayah ini didekat perbatasan Kab. Bulukumba dan Kab.
Sinjai) mengklaim masih Bukitnya, yang merupakan barisan lereng bukit
dari Gunung Lompo Battang,oleh pihak kerajaan Gowa sebagai batas wilayah
kekuasaannya. Namun pihak kerajaan Bone berkeras mempertahankan sebagai
wilayah kekuasaannya mulai dari barat sampai ke selatan. Berawal dari
peristiwa tersebut kemudian tercetuslah kalimat dalam bahasa Bugis
“Bulukumupa”, yang kemudian pada tingkatan dialeg tertentu mengalami
perubahan proses bunyi menjadi “Bulukumpa”
Dan ternyata bulukumpa atau yang biasa
kita sebut dengan tanete ini dulunya adalah sebuah kerajaan kecil yang
berdiri beberapa ratus tahun yang lalu.
Cikal bakal lahirnya
kerajaan Bulukumpa yaitu dengan munculnya 7 Gellarang yang bersatu untuk
membentuk sebuah kerajaan yaitu sebagai berikut :
1) Gellarang Jawi – Jawi
2) Gellarang Bulo – Bolu
3) Gellarang Bulukumpa/ Salassae
4) Gellarang Kambuno
5) Gellarang Jojjolo
6) Gellarang Balang Taroang
7) Gellarang Bulo Lohe
Raja pertama kerajaan Bulukumpa adalah
seorang keturunan dari kerajaan Bone yang bernama “Lapatau Matanna
Tikka’” yang bergelar “Karaetta’ ri Nagauleng Mangngakua Dg.Pasau”
Berikut sebagian arung/raja dan pelaksana tugas kerajaan yang pernah memimpin kerajaan Bulukumpa :
Ø Imaddolangeng Dg. Ngilau Karaetta Hajjie
Beliau adalah arung bulukumpa yang ke 10.
Ø Karaeng Hajji Makkarodda
Beliau adalah sulle watang( wakil arung ) dari Imaddolangeng Dg. Ngilau Karaetta Hajjie
Ø Imannodjengi Dg. Tiro
Beliau adalah adalah arung Bulukumpa yang
ke 11. Pada masa beliau menjadi raja, sektor perekonomian kerajaan
Bulukumpa berkembang pesat. Karena pada awalnya sebelum beliau menjabat
pada tahun 1914,belum ada persawahan di wilayah Bulukumpa. Jadi,selama
ini padi yang dikomsumsi masih berupa padi darat yang kualitasnya sangat
keras. Baru kemudian setelah beliau menjabat,maka diadakanlah
percetakan sawah pada tahun 1918.
Ø A. Mappi Djappu Dg. Djarre
Beliau sebernanya bukanlah
Arung,melainkan hanya pelaksana tugas Arung menggantikan
posisi arung
Imannodjengi Dg. Tiro untuk sementara.
Ø A. Abduh Syukur Dg. Pabeta ( Arung Bulukumpa Ke-12 )
Ø H. A. Mansur Dg. Sikki
Beliau adalah kepala Distrik Bulukumpa/ Tanete. Beliau juga adalah kepala camat pertama Kecamatan Bulukumpa.
Pada masa Bulukumpa masih berbentuk
kerajaan, maka yang dijadikan rumah kerajaan pada waktu itu adalah rumah
setip raja yang menjabat.
Berbicara mengenai Bola Kambarae atau
dalam bahasa Indonesia “Rumah Kembar”. Alasan mengapa harus rumah
kembar, karena pada waktu itu kerajaan Bulukumpa dipegang oleh 2
kerajaan besar di Sulawesi Selatan, yaitu Kerajaan Bone dan Kerajaan
Gowa yang silih berganti memegang tampuk kerajaan.
Sementara rumah adat Bola Kambarae yang
biasa kita lihat sekarang adalah rumah kerajaan mulai dari Arung/Raja
bulukumpa yang ke 11 yaitu Imannodjengi Dg. Tiro sampai kerajaan Bulukumpa menjadi sebuah kecamatan. Pembangunannya dimulai pada tahun 1919 dan baru selesai pada tahun 1923.
Arsitek Bola Kambarae sendiri sangatlah
sederhana, karena berupa rumah panggung dan hanya terdapat 2 pintu(
depan dan belakang ). Setiap tangganya memiliki “tapping” atau suatu
atap yang bersusun – susun dan berciri khas rumah bangsawan atau rumah
karaeng dalam pandangan masyarakat. (Kata “Karaeng” sendiri berasal dari bahasa Arab ٲلگڕیم (Al Karim) yang berarti “Yang Mulia” )
Sementara untuk warna, Rumah Adat Bola
Kambarae memiliki warna kuning(warna kebesaran Kerajaan Bone) yang
memiliki anggapan bahwa kuning adalah warnanya Emas dan padi,yang
“berarti bahwa semakin berisi semakin merunduk”. Terdapat pula sedikit
garis – garis dengan warna Hijau yang disamakn dengan Petani dengan
anggapan bahwa Bulukumpa memiliki kekayaan alam yang berlimpah.
Kini bola kambarae telah menjadi museum yang terletak di dekat perempatan antara jalan karet dan jalan kemakmuran.
Penulis : Muhammad Arman Kadir
Penulis : Muhammad Arman Kadir